Jumat, 06 Mei 2016

Mengapa Aku (bukan penulis) Terlanjur Pintar...?

Yang harus lebih dahulu anda pahami adalah ini pertanyaan SERIUS... bukan bercanda, bukanmain-main... OK.

Lalu,
Adakah yang pernah merasakan? atau mungkin sedikit terlintas di benak? atau yang lebih parah, menyesali diri karena judul artikel di atas?

Ya... sebagian dari para pembaca pasti mengetahui makna rasa dari pertanyaan di atas, mungkinkah makna rasa itu sebuah penyesalan?

Lalu yang lebih unik lagi, mungkin banyak diantara pembaca yang tiba-tiba terbersit pertanyaan, mengapa pula ada pertanyaan seperti itu? Pintar kok disesali? Ada apa dengan penulisnya? dst...dst... yang pasti banyak diantara para pembaca mendahulukan naluri untuk bertanya balik dibandingkan naluri untuk mencoba menjawab pertanyaan "aneh-aneh" seperti ini. Itu adalah karakter manusiawi yang sering saya jumpai, tidak apa-apa... semua berhak bertanya, tapi tidak ada salahnya jika anda mencoba untuk menjawab terlebih dahulu pertanyaan di atas sebelum melanjutkan membaca, karena jika itu anda lakukan berarti anda merasa pintar atau minimal anda membayangkan berperan sebagai orang pintar... :D

Balik lagi ke makna rasa dari pertanyaan di atas, hampir semua sepakat jika ada rasa penyesalan dari pertanyaan di atas ya, mungkin lebih seperti keluhan seorang manusia dengan kawannya, atau ratapan seorang manusia dengan Tuhan-Nya, Ya.. sedikit diantara kita yang menyesal karena terlanjur pintar, jauh lebih banyak yang mengejar kepintaran karena menawarkan berbagai "kemudahan" dalam hidup.
Dalam koridor manusia pada umumnya,
Pintar adalah suatu kelebihan, dan kelebihan bagi banyak orang adalah kenikmatan,
Tentu saja nikmat karena akan ada banyak pujian dari orang lain yang se-persepsi (maksudnya persepsi bahwa pintar adalah suatu kelebihan), belum lagi kemudahan-kemudahan lain karena anda yang tumbuh sebagai pribadi pintar berpotensi menjadi "pembeda" dalam lingkungan kerja maupun lingkungan tempat tinggal anda, biasanya orang yang berpredikat pintar juga dilengkapi pengetahuan yang di atas rata-rata sehingga relatif lebih mudah dalam menemukan solusi yang pas untuk berbagai persoalan.

Nah, masalahnya... manusia tidak bisa menentang hukum alam yang menegaskan bahwa semua kenikmatan ada batasannya baik itu batas bawah, maupun juga batas atas. seperti halnya nikmat makan, minum, merokok, bermain... dll, itu semua ada batasannya.

Jika boleh dibandingkan dengan dengan ukuran kecerdasan (IQ) misalnya, sekali lagi ini hanya permisalan...bisa jadi batas kenikmatan IQ seorang manusia ada pada rentang nilai 120 - 180. di luar rentang itu tingkat kenikmatannya berkurang atau bahkan lenyap. Demikian juga dengan beberapa orang yang pernah saya temui, mereka (meskipun tergolong orang yang jadi panutan/teladan dalam hal pengetahuan) ternyata tidak selalu menikmati segala pengetahuan yang telah mereka miliki.

berikut beberapa keluhan yang mewakili judul artikel di atas,

Seandainya aku tak pernah bisa menebak bahwa tahun ini saudaraku berpotensi punya penyakit serius.

Seandainya aku tak usah tahu bencana apa yang mungkin akan terjadi.

Seandainya aku tak terlalu pintar, akan ada lebih banyak simpati daripada tuntutan tanggung jawab.

dan saya masih yakin banyak lagi keluhan serupa di luar sana...

Di balik kekuatan yang besar, ada tanggung jawab dan beban yang juga besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar